Kamis, 14 Oktober 2010

Gaji naik, hati senang


Ada satu pidato yang selalu dinanti-nantikan oleh pns - minimal di kantor saya - yaitu pidato kenegaraan saat tujuh belas agustus. Karena beberapa tahun belakangan ini, pidato tersebut selalu membawa kabar 'gembira'. Kenaikan gaji pns.
Banyak, mungkin hampir semua - karena saya belum - pns yang ada di kantor saya, dengan sukacita, berbahagia, bergembira, melupakan segala pening, penat, dan puyeng. Dengan seketika! Berita dan gosip di kantor keesokan harinya pun segera bisa ditebak. Tidak jauh-jauh dari topik itu.


Segera, aroma kepuasan menyeruak. Wajah-wajah lesu berganti wajah-wajah ceria. Biarpun sebagian ada yang tidak puas, tapi tidak puas sambil gembira. Inilah hebatnya, sebuah pidato.

Yang tidak puas, bukannya karena tidak setuju. Tapi karena 'kok cuma segitu'. Harusnya lebih dong, kayak jamannya pak Gus Dur dulu. Berkali-kali lipat. Itulah ekspresi ketidakpuasan dalam kegembiraan.

Respon saya mungkin menganehkan yang lain. Sebentar dulu. Saya bukan tidak setuju. Malah setuju sekali. Hanya saja, rasanya ada yang mengganjal. 

Dulu, kalau ada pidato semacam itu, biasanya juga diiringi dengan kenaikan harga Sembako. Singkatan dari Sembilan Bahan Pokok, yang terdiri dari sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat menurut keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, yaitu (1) beras dan singkong; (2) gula pasir; (3) minyak goreng dan margarin (4) daging sapi dan ayam (5) telur ayam (6) susu (7) jagung dan sagu; (8) minyak tanah atau gas ELPIJI; dan (9) garam beriodium - dari id.wikipedia.

Katakanlah, gaji pns naik sepuluh persen. Diumumkan bulan agustus. Terhitung atau mulai diberlakukan januari tahun berikutnya. Namun baru bisa diterima kenaikannya itu sekitar bulan april tahun berikutnya. Berarti baru diterima di tangan enam bulan setelah pidato.

Nah, kenaikan harga barang, terutama sembako, sudah dimulai satu hari, bahkan satu menit setelah pidato selesai disampaikan. Selama enam bulan lebih kita 'menikmati' harga-harga yang sudah naik dengan keadaan belum menerima kenaikan gaji itu secara nyata.
Itu pun kalau sembako-nya mau kompromi, mau bergotong-royong, mau tanggung renteng. Maksudnya sepuluh persen dibagi rata. Itu kalau mau. Biasanya tidak mau. Masing-masing juga bergembira. Tidak mau kalah, ikutan naik sepuluh persen. Jadi sembakonya naik sembilan puluh persen. Artinya, pns dapat tambahan sepuluh persen sekaligus menambah pengeluaran sampai sembilan puluh persen dari biasanya.

Lain lagi. Jumlah pns seluruh negeri ini, kalau tidak salah sekitar lima juta orang. Bandingkan dengan seluruh penduduk di negeri ini. Cuma berapa persen. Cuma segelintir. Berapa daya beli mereka. Apalagi katanya, saudara sebangsa dan setanah air kita ini, yang nun jauh di sana dan yang dekat di hati, dan tampak di muka hidung kita setiap hari ini, banyak yang miskin. Banyak yang harus berpeluh payah setiap hari hanya untuk sepuluh dua puluh ribu rupiah setiap hari. Masih belum cukup?! Biasanya mereka ini punya tanggungan yang banyak. Jadi sepuluh dua puluh ribu untuk lebih dari empat mulut setiap hari.

Buruh misalnya. UMR paling banter satu juta. Itu di kota besar. Di sini, peraturannya delapan ratus ribu. Realisasinya, sudah pasti tidak segitu. Disnaker pun tidak bisa berbuat banyak, karena toh pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah pns disnaker juga tidak diberi upah sesuai UMR. Ini tidak perlu riset. Cukup logika saja. Gaji pns antara satu sampai enam juta. Rata-rata atau kebanyakan ya sekitar dua sampai tiga juga. Masak mau kasih upah pembantu hampir sepertiga gajinya?

Ketika bercakap di kantor soal ini, ada teman saya yang beropini berbeda. Katanya 'pasti UMR nanti juga dinaikkan'. Bagaimana bisa pak? Harga naik, daya beli menurun. Omset menurun, laba berkurang. Boro-boro menaikkan upah, mungkin yang ada malah merampingkan karyawan. Ujung-ujungnya di pengangguran.

Ini belum hitung yang ikut-ikutan. Kita ini kan memang suka mengekor. Satu naik, yang lain naik. Kalau sudah naik, lupa turun. Itu tadi kan baru sembako. Sembako naik, barang lain juga naik. Uang bemo naik, uang sekolah naik, uang ojek naik, kosmetika naik, pakaian naik. Wajar, karena mereka yang membuat dan menjual juga perlu makan. Mungkin yang tidak naik atau ditunda naikknya adalah rokok dan bunga tabungan.

Jadi, gaji naik, hati memang senang. Cuma ya itu yang mengganjal hati saya. Bukan tidak setuju. Lebih tepatnya, Belum Setuju.  Kalau kita bisa menghindari 'menikmati' kenaikan harga, gaji naik, saya setuju sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar