Sabtu, 30 Oktober 2010

Menjadi Pengusaha

Menjadi pengusaha, seperti yang selama ini diimpikan, ternyata gampang. Ini hanya soal mindset alias pola pikir. Pola pikir Pengusaha adalah berantakan, loncat-loncat, acak, kreatif, atau paralel. Sementara karyawan berpikir teratur, berurutan, sistematis, dan logis.

Menurut bapak Purdi E Chandra yang namanya pengusaha itu ada dua macam. Pertama penguasaha yang selalu ‘in’ dan kedua adalah pengusaha yang hanya ‘on’. Maksudnya, pengusaha yang ‘in’ artinya pengusaha yang bekerja sendiri. Semuanya serba sendiri. Kata Robert Kiyosaki, ini adalah pengusaha tipe ‘business owner’. Sementara pengusaha yang ‘on’ artinya pengusaha yang mempekerjakan sebuah manajemen. Ini yang disebut ‘investor’. Manajemenlah yang menjalankan perusahaan.


Menjadi pengusaha, jangan menjadi orang pintar. Sebab, orang pintar terlalu banyak mikirnya daripada actionnya, alias No Action Think Only. Prinsipnya 9A. Action, Action, Action,... (sampai 9 X).

Kata pak Tung DW, No Action, Nothing Happen. But When you take action, miracle happen. Benar, keajaiban itu hanya datang jika ada tindakan terlebih dahulu. Tidak ada yang namanya sekonyong-konyong alias ujug-ujug alias kebetulan.

Menjadi orang pintar, biasanya lebih banyak ngitung-ngitungnya. Kapan balik modalnya, dsb. Belum berangkat kok sudah mau balik?

Sekolah di Indonesia sekarang ini, buat orang semuanya menjadi pintar. Tapi pintar cari kerja. Pintar jadi karyawan. Pagi sekolah, malam disuruh kerja PR (pekerjaan rumah). Jadi, dari sekolahan sudah dilatih untuk disiplin karyawan, pagi datang tepat waktu, pulang dikasih kerjaan lembur.

Contek menyontek pun dilarang. Padahal, dalam bisnis contek-menyontek adalah hal yang biasa. Kalau kata pak Tung DW, ATM: Amati, Tiru, Modifikasi. Kata lainnya: Conteklah.

Menjadi pengusaha berarti mencari resiko. Resiko itu sama dengan rejeki. Resiko besar, rejekinya besar. Resiko kecil, ya rejekinya juga kecil. Sama seperti karyawan, resikonya kecil. Sangat-sangat aman. Makanya, rejekinya juga kecil-kecil juga.

Bagaimana kalau rugi? Pokoknya jangan sampai rugi 2 kali. Apalagi 3 kali, 4 kali, atau malah berkali-kali. Ini kata pak Royke, sang pemilik Entrepreneur University Kupang. Kalau rugi, ya senang saja. Be Happy. Cerita beliau, sebelum datang ke Kupang, kemarin, beliau kehilangan HP. Lantas, ya senang saja. Artinya bisa (atau harus?) beli HP baru lagi. Artinya ada alasan punya HP baru lagi. Jadi kalau rugi, lihat sisi positif (dan humor)-nya. 

Jangan sampai rugi 2 kali atau berkali-kali itu, maksud beliau adalah kebiasaan kita kalau kehilangan sesuatu entah barang atau uang, biasanya stress, lantas marah-marah. Kalau sudah begitu kan jadi ruginya berkali-kali. Pertama, rugi karena kehilangan barang atau uang, yang kedua rugi hati dan badan karena stress lantas jengkel. Ketiga dan seterusnya, dampaknya terbawa-bawa kemana-mana. Semua orang menjadi sasaran kejengkelan hati. Kalau menurut cerita pak Tung DW, namanya sindrom kuncing tetangga.

Ceritanya begini, suatu pagi pak anu datang ke kantor. Mungkin kurang tidur, kerja jadi ngantukan. Eh, ketahuan bos-nya, lalu dimarahi. Pulangnya, makin dongkol. Anaknya waktu itu sedang mengerjakan PR namun tidak bisa. Bertanyalah ia ke mamanya. Mamanya tidak bisa jawab, dioper ke bapaknya. Karena sedang dongkol alias bete, bapaknya malah marah-marah. Anaknya bingung, akhirnya kesal juga. Lalu lari keluar, nongkrong di bawah pohon jambu. Kebetulan (atau kesialan) ada kucing. Ditendanglah si kucing (apes) tersebut. Inilah yang disebut sindrom kucing tetangga.

Kalau rugi terus? Kata pak Purdi sih, itu artinya sedekahnya kurang. Gunakanlah kekuatan the power of sedekah.

Menjadi pengusaha itu seperti  orang mandi, kata pak Purdi Candra. Orang kalau mau mandi kan tidak pikir-pikir dulu. Pokoknya, ambil handuk, langsung ke kamar mandi. Telanjang, lalu siram. Pas mau sabunan, sabunnya habis. Lantas, handukan, lalu keluar cari sabun. Balik lagi, dan mandi. Kira-kira pengusaha itu kayak begitu.

Makanya ada namanya The Power of Kepepet. Orang kalau sudah kepepet biasanya akan kreatif.

Menjadi pengusaha itu tidak perlu njlimet ngitung apakah usahanya feasible atau tidak. Yang penting adalah bagaimana caranya supaya usahanya jadi feasible. Garis bawahi kata 'bagaimana caranya'. Ini adalah pikiran pengusaha: kreatif. Pokoknya, make it happen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar