Selasa, 26 Oktober 2010

Gaji (tak) naik, hati (tetap) senang

Isu kenaikan gaji, yang ditiupkan melalui pidato kemarin, seakan-akan terabaikan begitu saja. Antara tidak dan setengah-setengah peduli, isu itu tidak lagi menjadi menu utama 'gosip pagi-pagi' di kantor.
"Cuma lima persen saja," kata mereka. Tapi ada juga yang membantah, "Sepuluh persen." Lalu mereka saling beradu otot alias ngotot-ngototan, karena memang tidak punya otot. Dan seperti biasanya berujung kepada siapa yang paling benar menurut siapa. 

Di sini tidak pernah terjadi debat kusir, karena pertama tidak ada kusir di sini. Orang-orang di sini tidak pernah tau siapa si kusir itu. Bagaimana rupanya atau baunya. Kedua, karena mereka tidak berdebat. Yang mereka lakukan hanya omong-omong kosong alias mongkos tanpa bukti apa pun kecuali katanya dan perasaan saja.

Kabar burung tersiar dari mulut ke mulut, bukan ciuman melainkan dari mulut ke telinga lalu melalui proses panjang keluar kembali lewat mulut ke telinga orang lain lagi, di antara mereka. Kali ini sang burung membawa kabar baik. Paling tidak, mampu menghapuskan kegelisahan hati menanti datangnya bulan april tahun depan. Kabar ini juga membawa penghapusan lara lima atau sepuluh persen. Karena itu, gaji naik, hati senang, gaji tak naik pun, hati tetap senang. Asal .....

Entah berapa banyak burung yang datang. Ataukah sang burung ini yang setia untuk tidak setia pada perkataannya. Selalu berubah-ubah. Kadang menjadi senang sekali, kadang menjadi setengah senang. Rupanya sang burung selalu tahu isi hati mereka, sehingga tidak pernah mengabarkan kabar tidak senang. 

Manakah yang benar? Burungnya banyak sebanyak yang mengobrol ataukah burungnya satu tapi obrolannya yang banyak?

Tidak ada yang peduli dengan itu. Yang dipedulikan adalah content-nya alias isinya. Kalau bahasa kerennya lagi 'substansi'. 

Baru saja beberapa bulan setelah topik kenaikan gaji lima atau sepuluh persen itu terdengar, sudah lantas menjadi basi dan kadaluarsa. Tak dilirik, tak dipedulikan lagi. Tentu ada sebabnya, karena tidak seperti biasanya mereka mampu membaik-baikan hati untuk itu.

Rupanya, kabar yang terbawa angin itu adalah dihapusnya tunjangan kesra. Kesra itu disingkat dari kata kesejahteraan. Sekarang, pns pemprov mendapatkan tunjangan kesra sekitar tujuh ratus ribu hingga hampir satu juta. Mulai tahun depan tunjangan itu akan dihapus. 

Padahal baru kemarin tunjangan itu diubah. Sebelumnya tunjangan kesra hanya, kalau tidak salah ingat, tiga ratus ribuan rupiah, masih tetap sama seperti sekarang, bergantung kepada golongannya. Paling pol ya, golongan empat sekitar empat ratus ribu, itu pun kalau tidak salah. Tapi saat itu, ada tunjangan makan, sebagai konsekuensi dari lima hari kerja. Diasumsikan orang-orang sekalian makan di kantor, makanya dikasih uang tambahan untuk makan alias jajan. Besarnya kalau tidak salah sepuluh atau lima belas ribu rupiah per hari. Baik tunjangan kesra dan uang makan diterima bersamaan.

Setelah itu diubah seperti sekarang ini, uang makan dihapus, digabungkan jadi tunjangan kesra. Jadi tidak lagi peduli masuk kantor atau tidak, makan siang atau tidak, terserah. Semuanya diberikan bersih. Utuh. Tanpa ganggu gugat sedikitpun. Konon, katanya, sebenarnya kalau tidak masuk tanpa alasan yang jelas, tepat, lagi berguna, tunjangan kesra dipotong lima belas ribu per hari tanpa masuk. Namun, buat apa dipersulit kalau bisa dipermudah, khusus untuk urusan ini, berlaku.

Tahun depan, tunjangan ini dihapus. Namun hati malah senang. Apa pasalnya? Bukannya malah tidak ada lagi sokongan untuk menjadi sejahtera?

Ternyata, tunjangan ini dihapus, lalu nanti dibuatkan tunjangan yang bernama lain. Jadi bukan tunjangan untuk sokongan kesra lagi. Biasalah, ini memang soal istilah saja. Kelaparan dibilang rawan pangan. Miskin dibilang pra sejahtera. Dimasukan ke sel dibilang diamankan. Jadi yang penting adalah content-nya alias isinya alias substansinya.

Kalau cuma ganti nama kok senang? Betul. Pasti ada yang aneh, bukan? Ganti nama sekalian ditambah. Konon untuk urusan ini, sang burung yang banyak ataukah ia tidak konsisten. Satu ketika dia bilang jumlahnya mengikuti golongan. Ini pun beragam. Kadang beritanya bilang golongan satu, satu juta, golongan dua, dua juta, dan seterusnya, golongan empat, empat juta. Kadang beritanya bilang tidak segitu jumlahnya. Cuma selisih lima ratus ribu per golongan, dimulai dari satu juta.

Ketika lain, dibilang mengikuti eselon. Ini pun bervariasi jumlahnya seperti di atas. Ada lagi bilang per eselon dan per golongan.

Bingung sebingung-bingungnya, hingga terbingung-bingung, sampai bingung mau membingungkan apa.

Akhirnya, yang diperhatikan dalam setiap 'gosip pagi-pagi' di kantor adalah hakikat daripada yang mana maksud pemberian tunjangan, yaitu berapa minimnya yang akan diterima. Angkanya akhirnya disepakati setelah melewati penyaringan yang mendalam dan seksama terhadap gosip-gosip dan setelah dikaji melalui suatu riset yang sangat tidak ilmiah apalagi komprehensif, disimpulkan angka minimalnya adalah satu juta. Lumayanlah, masih lebih besar dari tunjangan kesra.

Melengkapi isu ini, muncul juga kabar tentang penghapusan honorarium untuk panitia semua kegiatan. Jadi dengan adanya tunjangan ini, semua kegiatan kepanitiaan, tidak dapat honor. Kasihan juga nanti yang kerja. Sekarang saja, dari katakanlah sepuluh orang anggota panitia, paling pol yang bekerja cuma satu atau dua orang. Kiranya ini sudah tradisi di negara ini, dengan menumpangkan nama di atas kertas-kertas kepengurusan atau kegiatan.

Isu lainnya adalah dampak daripada yang mana pemberlakuan daripada yang mana tunjangan ini adalah terpangkasnya, sepertinya, hampir semua anggaran kegiatan. 

Apa yang dapat dibayangkan nantinya. Oh, mereka ramai ber'gosip pagi-pagi' dengan sejuta rencana menghabiskan tunjangan itu. Ada yang mulai rencana kredit sampai rencana menambah anggaran KP alias kupon putih, alias togel.

Pertanyaannya ialah bagaimana nanti dengan kinerja pemprov tahun depan? Banyak anggaran kegiatan terpangkas. Panitia tanpa honor, siapa yang mau? Rajin atau beda apa bedanya? Pintar Goblok Pendapatan Sama! alias PGPS makin berlaku. Dan kemungkinan lain yang sangat bisa mungkin terjadi. Akhirnya pun bermuara kepada apa dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat yang selalu kita lupakan, padahal mereka tidak boleh alias dilarang alpa membayar pajak untuk penghasilan yang dinikmati ini.

Atau bagaimana mungkin para pengusaha mampu mencari pekerja, jika para pekerja lebih memilih menjadi salah satu diantara peng-'gosip pagi-pagi' itu. 

Di sini, kita menanti jawaban... menunggu saja... menerima saja .... toh kita hanya dibutuhkan saat mereka membutuhkan saja...

Siapa yang mau peduli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar