Kamis, 14 Oktober 2010

PNS iseng

Tidak pernah terpikir oleh saya, sedikit pun! Bekerja sebagai pns, bukan cita-cita saya. Jalan hidup ini memang dibuat oleh-Nya. Saya tinggal ikut saja.

Iseng-iseng ketemu di koran pembukaan penerimaan pns daerah. Iseng-iseng (lagi), baca isinya, ada jurusan kesarjanaan saya. 'Tumben nih,' pikir saya. Jarang-jarang ada lowongan untuk gelar kesarjanaan saya. Formasinya: peneliti. 'Wah, kayaknya elit nih'. Peneliti. Asosiasinya ke orang-orang pintar. Biar pun saya pintar enggak, bodoh pun tak mau, masuk di dalam kumpulan peneliti, bisa dianggap pintar. Pokoknya biar bisa dianggap pintar saja.


Tapi itu terlalu jauh. Saya cuma ingin merasakan bagaimana prosesnya orang melamar pekerjaan pns. Bagaimana rasanya ujian. Apa saya bisa lulus ujiannya? Bagaimana sih soal ujiannya, kok banyak yang tidak lulus. Susahkah? Ya, iseng-iseng saja ikut ujiannya. Sekalian menemani istri saya ujian. Soalnya, dia yang paling getol ingin jadi pns.

Singkatnya, saya mendaftar. Surat lamaran sudah ada formatnya. Tinggal disalin. Harus tulisan tangan. Tidak tahu kenapa, ya? Apa untuk menghindari kebiasaan 'copy and paste' yang dipelajari selama sekolah. Atau untuk menambah kerja, biar 'proses'-nya menjadi lebih 'terasa'. Atau kenapa, sampai sekarang saya masih belum tahu, dan sudahlah, tidak perlu dicari tahu. Tidak penting.

Setelah berkas lengkap, termasuk surat lamaran yang coba saya tulis dengan huruf yang paling bagus, berkas diserahkan. Beberapa hari kemudian, ujian.

Di tempat ujian, baru saya tahu, khusus formasi saya ada empat puluh dua pelamar. Ada senior saya di kuliahan dulu. Ada yang dari kampus lokal. Ada yang masih 'segar'. Ada yang sudah bekerja atau sedang bekerja. Ada yang tinggal di sini. Ada juga yang jauh-jauh datang hanya untuk melamar kerja pns di sini.
Ujiannya diberi waktu, kalau tidak salah, dua jam. Soalnya sekitar seratus nomor. Itu sudah semua jenis soal. Psikotes, Skolatik, .... apa lagi ya? ... pokoknya sekitar lima macam. Semuanya saya kerjakan dengan tenang. Di ujian ini lah baru pertama kali saya merasakan menjawab soal dengan membulat-bulatkan jawaban. Ini seumur-umur hidup saya. Yang pertama kali, mungkin juga yang terakhir. Tanpa beban. Toh, ini kan cuma iseng.

Mengerjakan ujiannya pun juga sebisanya. Tidak lulus, tidak masalah. Lulus, wah... tidak pernah terbayangkan. Bisa jawab, ya jawab. Kalau tidak, ya dijawab juga. Kan tidak ada ruginya. Sekalian menguji teori menjawab soal yang tidak bisa dijawab.

Teorinya begini. Soal-soal pilihan, biasanya berpola. Bisa A-A-A berurutan, A-B-C, A-A-D-D, pokoknya pasti ada polanya. Jarang yang acak. Sejauh soalnya dibuat oleh manusia, cenderung berpola. Kecuali sebelumnya sudah dilakukan pengacakan. Nah, dari pola itu kemudian diperiksa lagi, apakah mendekati atau tidak. Kalau tidak, pakai teori hitung kancing baju, hitung cecak, hitung apa saja. Terserah. Kalau tidak mendekati juga, pakai teori intip. Tapi, sebaiknya teori yang terakhir ini dilikuidasi saja. Lebih banyak dosanya.

Beberapa minggu kemudian, muncullah pengumumuan di koran yang sama. Cek punya cek, ada nama saya di situ. Lulus. Justru istri saya tidak lulus (baru tahun berikutnya dia lulus). Karena tidak pernah terbayangkan, malah jadi bingung. Benar, waktu itu saya bingung. Dilanjutkan atau tidak. Ini kan bukan cita-cita saya. Sungguh-sungguh tidak pernah terbayangkan. Saya kan cuma iseng.

Bukan sekonyong-konyong, karena teman saya lantas menelepon saya. Dia tahu karena sudah lihat di koran. Dan ketika saya menampilkan kebingunan saya, keragu-raguan saya, dia malah marah-marah. Katanya, ambil saja! Yang penting sudah keterima, sudah masuk, dapat nip, ... sudah! Iya, itu saja. Mau buat apa nanti, itu urusan nanti. Masih ragu, kata saya. Dia 'ceramah' lagi. Katanya, banyak orang nyari-nyari kesempatan jadi pns. Kamu sudah dapat malah bingung. Namanya kamu potong nasib orang. Waktu itu saya percaya saja. Kalau tidak saya teruskan, kasihan orang lain yang sangat berharap.

Iya, ya. Kenapa ya, ada yang berharap, yang siang malam tidak tidur, belajar, nyontek, dan segala daya upaya dikerahkan, malah tidak lulus. Saya yang cuma iseng-iseng saja, malah lulus. Semakin banyak cerita dari orang lain yang lulus juga bilang begitu. Cuma iseng. Tanpa beban. Oooo... rupanya soal-soal begini ini, jangan berharap. Jalani saja. Justru yang tanpa beban, yang iseng, yang tidak berharap, malah bisa dapat kesempatan yang lebih banyak dari pada yang berharap, yang terbebani, yang terlalu serius.

Omongan dia yang terakhir itu, yang menelakkan saya. Kasihan ya, yang tidak lulus. Padahal mereka sudah sangat berharap. Saya jadinya memotong jatahnya mereka, kalau ini tidak saya teruskan. Belakangan baru saya tahu, kalau keadaanya tidak demikian. Kalau lulusan nomor urut satu tidak meneruskan, akan dialihkan ke lulusan nomor urut dua, dan seterusnya. Dalam hal tidak ada peserta lain, ya sudah. Formasi itu kosong. Tidak ada yang mengisi. Ini terjadi pada tahun kemarin. Karena pesertanya cuma satu orang. Ujian dan diterima (sudah pasti diterima, kecuali kalau dia super goblok). Tapi dia tidak meneruskan, maka jadilah formasi itu kosong untuk selama-lamanya pada tahun itu.

Setelah pembicaraan telepon dengannya, mulailah saya dengan perburuan berkas-berkas. Berkas sidik jari, keterangan kelakuan baik, pemeriksaan kesehatan, legalisasi ijazah, dll. Setelah lengkap, saya serahkan ke kantor. Hari senin berikutnya, resmilah saya jadi calon pns.

Selanjutnya tinggal cerita saja. Saya jadi pns karena iseng. Maka jadilah PNS iseng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar