Senin, 25 Oktober 2010

Garam

Hari selasa tanggal 19 Oktober 2010 di halaman muka, bagian sebelah bawah, Koran Timor Eksress memuat berita berjudul 'Australia garap industri garam NTT' dan sub judul 'Bantu pasok kebutuhan dalam negeri."

Berita yang sama juga muncul di berita online seperti: sindodetikfinancenttprov.go.idtempointeraktifbisnisindonesiabataviase;  mediaindonesianttonlinenewskoranjakartasinarharapankompasianamsnberita2.






Catatan Penerang (hi-light)
Berikut ini beberapa coretan penerang (hi-light) dari berita tersebut:
  • Kalimat pembukanya tertulis: "Investor asing menangkap peluang atas ketidaksanggupan pemerintah Indonesia memberdayakan sumber daya alam melimpah untuk industri garam." Investor yang dimaksud adalah Cheetam Salt Ltd.
  • Total investasi adalah 300 miliar rupiah.
  • Pembangunan sudah mulai berjalan di Teluk Kupang (kabupaten kupang?) dan (Kabupaten) Nagekeo.
  • Total lahan yang digarap 1.700 hektar. Tahap pertama menggarap 700 hektar, sisanya di tahap kedua.
  • Investasi ini diperkirakan dapat menyerap 2 ribu tenaga kerja.
  • Mulai berproduksi pada 7 bulan mendatang (berarti sekitar bulan Mei 2011).
  • Produksi diprediksikan mencapai 250 ribu ton per tahun.
  • Alasan pemilihan lokasi industri garam adlaah karena kecocokkan faktor iklim di NTT, yaitu lamanya musim kemarau yang mencapai 7 bulan.
  • Total kebutuhan garam dalam negeri (Indonesia) mencapai 3 juta ton per tahun. Dengan pertumbuhan kebutuhan garam secara nasional adalah 2% per tahun, diperkirakan kebutuhan garam dalam negeri pada tahun 2015 adalah 5 juta ton.
Seperti yang dikatakan oleh seorang anggota Komisi VI DPR RI dalam berita tersebut, bahwa kesulitan Indonesia dalam memproduksi garam merupakan fakta ironis. Pasalnya Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki pantai sangat panjang, tapi belum sanggup mengelola garam untuk kebutuhan dalam negeri sekalipun.

Bagaimanakah dengan NTT?
Apa yang dikatakan tadi tampaknya masih relevan, yaitu fakta ini merupakan fakta ironis. Mari kita lihat bersama.

Keadaan geografis

Peta NTT
WIlayah NTT terluas adalah laut. Perbandingannya lima kali luas daratan. Luas lautan diperkirakan 200 ribu km persegi sedangkan luas daratan seluruhnya 47.349,9 km persegi. 

Provinsi NTT terdiri dari 566 buah pulau besar dan kecil. Dari pulau-pulau tersebut, baru 246 pulau saja yang diberikan nama. Artinya setengah lebih dari total seluruh pulau belum diberi nama. Dari pulau-pulau yang bernama tersebut, hanya 42 pulau saja yang dihuni. Jadi penduduk NTT hanya menempati 7% dari luas daratan yang ada. 


Total panjang garis pantai seluruh pulau tersebut adalah 5.700 km. Pemerintah NTT mengidentifikasi ada 808 desa dari 2.667 desa/ kelurahan yang ada di NTT, yaitu 30%, merupakan desa pesisir/ pantai.

Potensi Produksi Garam
Data berikut ini merupakan publikasi pemerintah NTT. Sampai dengan saat ini, luas lahan yang dimanfaatkan untuk produksi garam di seluruh wilayah NTT sebesar 8.953,25 hektar. Dari lahan potensial tersebut baru dimanfaatkan 151 hektar saja atau 1,69% dari total lahan potensial. Persebaran lahan produksi garam hanya di 10 dari 21 kabupaten/ kota yang ada. Silahkan lihat tabel berikut ini.

Kabupaten/ Kota
Luas Lahan
Potensial (Ha)
Dimanfaatkan (Ha)
Pemanfaatan
Kota Kupang
4
4
100.00%
Kupang
5,670
118
2.08%
TTU
500
0
0.00%
Belu
10
0
0.00%
Rote Ndao
69
62
89.86%
Lembata
70
2
2.86%
Ende
500
63
12.60%
Manggarai
10
5
50.00%
Sumba Timur
30
6
20.00%
Sumba Barat
112
1
0.89%

sumber:  nttprov.go.id


Kebutuhan Garam
Antara benar atau tidak, publikasi ini memberikan sedikit gambaran bagaimana potensi produksi garam yang ada, belum atau malah tidak dimanfaatkan sama sekali. Padahal kebutuhan garam masih sangat tinggi secara nasional, maupun lokal (provinsi NTT).

Di tahun 2002, menurut pemerintah NTT, kebutuhan garam di NTT mencapai 12 ribu ton, tepatnya 12.435,074 ton. Jumlah ini menyumbang 1% dari kebutuhan garam nasional yang mencapai 1,2 juta ton.

Produksi Garam
Di NTT, garam diproduksi oleh usaha garam rakyat (usaha mikro dan tradisional). Pada tahun tersebut (tahun 2002), usaha-usaha semacam ini berjumlah 97 unit sentra produksi dan menyerap 3.456 orang. Produksi yang dihasilkan pun baru memenuhi 61,86% (7.692,8 ton) dari kebutuhan yang lokal (provinsi NTT).

Tidak disebutkan, bagaimana pemenuhan sisa kebutuhan tersebut, apakah diimpor dari luar daerah ataukah dibiarkan kekurangan garam.

Auto-kritik
Pemerintah telah melakukan autokritik dalam publikasinya. Disebutkan keterlibatan pemerintah masih relatif terbatas terhadap usaha garam rakyat. Keterlibatan itu hanya dalam bentuk usaha percontohan dengan melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemerintah NTT pun mengakui bahwa garam memiliki  potensi untuk dikembangkan secara masal karena kebutuhan untuk lokal maupun nasional masih tinggi.

Catatan Saya
Setelah mengkomparasi (membandingkan), catatan saya, sebagai berikut:

  • Selama ini, kemarau panjang telah menjadi salah satu 'kambing hitam' dari seluruh kegagalan pertanian. Kita selalu melihat kemarau panjang sebagai kesialan. Namun, orang lain malah melihat ini sebagai suatu keunggulan.
  • Sebagai provinsi dengan luas lautan lebih besar sampai lima kali lipat dari luas daratannya, pemerintah NTT mencoba untuk mengklaim sebagai provinsi Kepulauan. Kenyataannya, hanya 30 persen desa yang merupakan desa/ kelurahan pesisir/ pantai. Dapat dikatakan bahwa secara kasar, 70 persen penduduk NTT adalah penduduk bukan pantai atau penduduk pegunungan. Hal ini dapat menjadi problema (persoalan) ketika klaim provinsi kepulauan dihadapkan dengan budaya (kebiasaan, adat, cara pandang, dsb). Menurut perkiraan saya, dampak dari benturan antara klaim dan budaya hanya melahirkan sesuatu yang indah di atas kertas saja tanpa realisasi yang berarti.
  • Pemerintah NTT periode ini menonjolkan empat program unggulan. Program itu adalah Jagung, Ternak (Sapi?), Cendana, dan Koperasi. Semua program ini, merupakan cerminan program-program dengan orientasi daratan, bukan orientasi kelautan atau kepulauan.
  • Sebagai penyelenggara pemerintahan, entah dalam skala provinsi maupun kabupaten, ada satu hal yang selalu mengganggu di benak saya, yaitu ekspor. Lihat saja pada program unggulan, semuanya berpikiran untuk diekspor. Terakhir adalah dengan membuka kerjasama perdagangan dengan negara Cina (kalau tidak salah). 
  • Pertanyaannya ialah mengapa pemerintah daerah kita (provinsi maupun kabupaten) selalu berorientasi ekspor? Mengapa kita tidak berusaha memproduksi untuk kebutuhan sendiri dulu (swasembada) sambil meningkatkan ketahanan (akses rakyat terhadap hasil/ produk)? Kelebihan swasembada-lah nanti yang di-ekspor. Itu pun tidak perlu usah cape-cape terlalu jauh sampai nun jauh di negeri sebrang. Cukuplah, katakanlah dari satu kabupaten diekspor ke kabupaten tetangganya dulu. Atau dari provinsi NTT diekspor ke provinsi tetangganya dulu. Atau mungkin kita patut terlebih dahulu melirik negara seberang kita yaitu Timor Leste, sebagai pasar terdekat.
  • Mungkin kita perlu berpikir ulang tentang pola investasi. Dengan investasi 300 miliar rupiah hanya mampu menyerap 2 ribuan tenaga kerja. Bandingkan dengan 97 unit usaha rakyat yang bisa menyerap 3 ribuan orang. Entah dengan investasi berapa, yang pasti tidak akan mencapai 300 miliar rupiah. Maksud saya di sini ialah usaha rakyat lebih efektif dan mungkin efisien dalam menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan investasi usaha dalam skala besar dan dalam jumlah yang 'wah'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar