Senin, 18 Oktober 2010

Smoking

Betapa nikmatnya merokok. Tentu, bagi seorang perokok, tahu rasanya. Sebatang rokok yang terambil diselipkan di antara bibir. Manis lagi gurih. Tak berkata, tangan sudah menyediakan sebuah pemantik atau korek api yang menyala di ujung rokok. Tersulutlah api di ujung sana. Sebuah persiapan perjalanan kenikmatan tiada berbanding.

Dari ujung sanalah, nyala api itu menjadi bara. Membakar tembakau dan bumbu-bumbunya. Menguapkan tar bersama asap menuju pangkal rokok. Dari situ, tanpa ragu lagi, tiada bertanya, sebagaimana tarikan napas, ia akan memenuhi rongga mulut, memenuhi kerongkongan, memenuhi paru-paru.

Sedotan pertama haruslah mantap. Harus yakin. Langkah pertama harus pasti. Sebab, nanti tak akan terbakar sempurna. Seluruh lingkaran ujung rokok haruslah menyala dengan gemilang. Bukannya sebagian saja. Tidak akan nikmat jadinya. Jika sudah tidak sempurna, sedotan berikutnya menjadi pekerjaan sendiri, mengurangi kenikmatan. 

Beriring-iring, dari satu sedotan ke sedotan lain. Sadar dan tidak, dari satu batang ke batang yang lain. Akhirnya beralih ke bungkus yang satu ke yang lain. Tiada pernah hendak dihitung. Kenikmatan jangan pernah dihitung. Kenikmatan cukup dinikmati saja. 

Kenikmatan itu adalah asap yang memenuhi paru-paru. Terasa berat dan mantap. Jika terlalu ringan, bagai menghisap kertas gulungan saja. Jika terlalu berat, tak masalah, karena kesanggupan berkempat-kempot. Tapi bukan seperti itu. Terlalu kempot juga tak akan menyala. Asap pun malas menerobos celah yang terlalu rapat. Berat itu terasa ditarikan. Mantap itu terasa disodokkan. 

Kenikmatan itu adalah asap yang keluar dari mulut dan lubang hidung. Biasanya tidak langsung dikeluarkan ketika tersedot. Hanya banci saja yang begitu. Harus disedot seperti bernapas. Udara bukan lagi oksigen. Udara itu adalah asap yang panas yang membawa uap air, aroma tembakau, tar, nikotin, dan berbagai senyawa kimia, entah apa saja. Banyak orang bilang berbahaya. Mungkin karena mereka tidak tahu saja. Mungkin mereka akan berubah pikiran, setelah mencoba. Jangan satu. Tidak terasa. Malah akan sakit. Rasa pertama memang biasanya sakit. Lama-kelamaan jadi enak, jadi ketagihan, jadi keenakan, jadinya keterusan. Barulah boleh berkata-kata.

Kenikmatan itu adalah ketika jari ini menjepit. Ketika terlihat asap itu. Ketika melihat ujung batang itu menyala. Ia harus bisa dijentikkan untuk merontokkan ujungnya yang berabu. Atau tanpa perlu itu, jika memakai cangklong. Makanya, tidak pernah enak, merokok di tempat gelap. Apalagi merokok sambil mata tertutup. 

Kenikmatan itu adalah konsentrasi. Syaraf otak ini maunya kerja sama dengan nikotin. Kenikmatan itu juga rasa rileks. Bisa juga kesadaran. Entah yang mana yang dipilih. Semuanya menjadi benar dan tepat. Situasi akan menentukan. Tempat itu akan menentukan, dimana saat kenikmatan itu menjadi salah satunya.

Manalagi kenikmatan selain merokok. Merasakan dada ini terbakar. Bukan serasa saja. Merasakan mulut menjadi bau. Badan jadi busuk. Biarpun banyak pewangi dan pengharum mulut dipakai. Ini memang bau khas perokok. Justru kalau terlalu wangi, tidak enak jadinya. Mulut haruslah bau. Pelan-pelan, sepaket dengan itu, gigi pun harus menjadi kuning. Sikat gigi tiada arti. Ini tanda mata. Cakar-cakaran asap dalam rongga mulut. Gusi pun juga menjadi kempes. Tak berisi. Bibir menjadi kering dan hitam. Bulu hidung menjadi rontok. Tak mau lagi mencium bau-bau. Inilah kebanggaan dan kenangan kenikmatan.

Bukannya itu terjadi sekali. Kenikmatan haruslah berbayar. Tak mungkin berpercuma. Satu selalu jadi pemula yang sesegara menagih satu satu berikutnya. Ia tak pernah berhenti sampai berpola. Berwilayah. Mematok sudut-sudut tanpa sertifikat. Patok-patok wilayah diperluas, menggarap wilayah-wilayah yang saling berklaim. Nyaman itu menjadi titik nol. Tempat semuanya tertuju. Merangkai kembali gagasan bermula. Tentang sosial, tentang berat badan, tentang aku, tentang  citra, tentang coba-coba, tentang apa saja. Saling bermanifestasi dalam suatu cara. Yang meyakinkan ujung-ujung syaraf tak terlihat mata kasat untuk saling merajut kecintaan kenikmatan. 

Siapa yang mau ambil pusing? Mendalami nikmat mensuasanakan kesenangan. Menyelaminya mengindahkan keserbaadaan. Tak beruang untuk mengindahkan mawas kehati-hatian apalagi kepedulian. Hilang itu bagi yang berpunya. Mawas itu hanya rasa takut. Tiada kehilangan kini, bukan tidak berpunya, hanya tak berasa. Bahaya bukannya sudah terhisap tersedot setiap kali bersama kenikmatan itu? Bukan tidak tahu. Hanya hidup perlu prioritas. Tubuh harus tahu mana yang penting. Urutan itu terbuat dari berbagai kepentingan. Cuma satu kini. Cuma perokok yang tahu. Siapa suruh tidak merokok?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar